SEBAGAI manusia
modern yang hidupnya masih semi-nomaden, gue selalu dapat nama panggilan baru
dari setiap ruang lingkup pergaulan gue. Dan dari semua panggilan yang gue
punya, ada dua yang paling melekat dalam diri gue. Bukan, bukan karena gue suka
dipanggil itu. Yah, walaupun gue kalo disapa dengan, “Woi, Mbon!” atau, “Eyyy,
Kakak Bertuuuss!” gue tetep nengok juga, sih. Gue ngomong kedua panggilan itu
melekat karena setiap kali gue pindah ke lingkungan baru, dengan memperkenalkan
diri menggunakan cara yang sama, tanpa gue kasih tau, tanpa kenal satu sama
lain, bahkan belum pernah ngobrol sepatah kata pun, mereka langsung manggil gue
dengan: “Bertus” atau “Ambon.”
Seperti
lazimnya anak-anak SMP yang baru masuk SMA, gue mengikuti MOS. Dan seperti
lazimnya anak-anak SMA yang mengikuti masa orientasi siswa, gue memperkenalkan
diri, “Nama saya Yurisdika, panggil aja Dika, dari SMP blablabla.”
3 jam kemudian, salah satu teman gue mengajak gue ke
kantin, “Eeeyyy, Bertus, kantin ayo,” katanya, dengan logat orang Timor.
Gue diam, karena merasa bukan gue yang dia panggil.
“Eeyyy, kakak Bertus, kau budeg kah?” sambung dia,
meninggikan suaranya.
“Lo manggil gue?” tanya gue keheranan.
“Iya, ayo. Ke kantin sudah.”
“Gue belum ke kantin.”
“Maksud gue, gue ngajak lo ke kantin, bego,” kata
teman gue, udah dengan logat asli nya dia.
“Oh, ngomong
yang bener makanya. Ayo deh,” jawab gue menerima ajakannya.
Beberapa minggu setelah masa orientasi siswa
selesai, seseorang yang nggak dikenal menyapa pada saat itu menyapa gue yang sedang menyusuri
koridor, nampaknya salah satu teman MOS gue saat itu, “Woy, bertus.”
Gue diam.
“Woy, Bertus sombong lu.”
Karena nggak mau dibilang sombong, gue jawab, “Eh,
iya, sorry. Nggak denger, lagi pake headset.”
“Lo pake headset dimana?”
“Di kuping,” jawab gue.
“Kuping lo mana?”
“Nih,” jawab gue sambil memegang kuping gue.
“Nah headset lo mana?”
“Di kelas.”
Gue baru sadar,
gue nggak pake headset.
Dan sejak saat
itu, hampir semua teman sekolah gue, baik yang gue kenal maupun tidak,
memanggil gue dengan sebutan: “BERTUS.”
Kesal? Jelas.
Siapa yang nggak kesal dipanggil begitu, kecuali memang namanya memang "Bertus." Dan yang lebih menyebalkan lagi, orang
yang bahkan gue nggak tau siapa ikut-ikutan manggil gue seperti itu. Entah
karena refleks atau bukan, gue dengan santunnya malah menjawab, “Eh, iya?”
yang kadang berubah menjadi, “Eh, iya....siapa ya?”
Tapi karena
nggak mau dipandang sebagai anak paling sombong satu sekolahan, gue memilih
untuk selalu menjawab tiap sapaan yang gue dengar. Terserah orang itu mau
manggil gue apa, pokoknya nengok aja, yang penting nggak sombong. Bahkan gue
pernah dengan pede-nya menjawab satu sapaan yang ditujukan bukan untuk gue,
melainkan teman satu sekolah yang nggak gue kenal. Iya malu, tapi seengaknya
gue udah menyelamatkan diri gue dari peng-kategori-an ‘orang sombong’ di
sekolah.
Sampai saat
itu, gue masih nggak ngerti kenapa gue dipanggil “Bertus.” Hingga suatu saat
ada salah satu teman gue yang lain yang bertanya, “Woy, Tus, lo pernah masuk
TV, ya?”
“Hah?” tanya gue spontan, dengan wajah bego.
“Iya, lo pernah main fim, kan? Marmut Merah Jambu?”
“Hah?” masih dengan wajah bego.
“Pernah nggak sih? Hah hoh hah hoh doang lo kayak
orang bego.”
“Apaan, mana pernah main film gue.”
“Gue kira pernah. Habis muka lo mirip sih sama yang
jadi Bertus orang Papua itu.”
“Jadi, orang-orang pada manggil gue Bertus karena
mereka ngira gue yang mainin peran Bertus di film itu?” tanya gue serius.
“Nggak tau, gue sih ikut-ikut aja. Lagian muka lo
pasaran juga, sih. Gue juga kayak pernah ngeliat lo dimana gitu. Gue kira lo
sering muncul di TV-TV.”
“Mirip dari mananya? Jauh kali, gantengan gue
kemana-mana.”
“Iya, ganteng
lo kemana-mana, jadi nggak ada yang tersisa lagi,” jawab dia.
Belum sempat
terima dengan panggilan Bertus, muncul satu nama panggilan lagi yang ditujukan
kepada gue.
“Woi, Ambon!”
teriak teman gue dari ujung koridor.
Gue diam,
merasa bukan gue yang dia panggil.
“Bertus Ambon!”
“Eh, yoo,” jawab gue refleks, sambil berjalan
melewati dia.
Belum ada 10 langkah
gue melewati dia, gue putar balik menghampirinya.
“Bentar, tadi
lo manggil gue apa?” tanya gue.
“Bertus Ambon,”
jawab dia.
“Ambon?” tanya
gue lagi.
“Iya, lo orang
Ambon kan?” jawab dia lagi.
“Bukan. Bokap
Nyokap gue Jawa, jadi nggak mungkin gue orang Ambon.”
“Ah bohong lo.
Muka kayak gitu masa orang Jawa.”
“Kan gue yang
lahir, kok jadi lo yang nentuin?” tanya gue sewot.
“Iya iya, serem
ah kalo orang Ambon udah marah mah.”
“Gue bukan
orang Ambon,” bantah gue tegas.
“Bodo amat.
Cabut dulu, Mbon,” kata dia, kemudian pergi.
Dan sejak saat
itu nama panggilan gue bertambah satu lagi.
Namun, seiring
berjalannya waktu, gue mulai bisa menerima nama panggilan itu. Sekali lagi,
bukan karena gue suka, tapi karena terbiasa. Untungnya, nggak semua teman satu
sekolah gue yang memanggil gue begitu. Hingga sampai saat ini,
mereka menolak untuk percaya kalo gue bukanlah orang Ambon. Dan itu baru satu dari sekian banyak nama panggilan gue yang menunjukkan kalau itu 'gue banget'.
Haa, ku tandai kau ya! |
0 komentar:
Posting Komentar