Surga di atas pundak Ayah

SUARA petir membuyarkan lamunan ku, membuat ku menengok sebuah buku yang tergeletak di laci meja yang sedikit terbuka, usang tertutup debu, memaksa ku untuk membukanya. Aku memandangi Ayah, dia tersenyum kepada ku.
Aku buka buku itu, di dalamnya aku melihat foto-foto aku dan Ayah. Berbagai kenangan masa kecilku tiba-tiba muncul, mampir tanpa permisi. Aku teringat ketika Ayah menggendongku, membiarkan aku duduk di pundaknya, sambil memegang kepalanya. Aku teringat ketika Ayah memarahi meja yang membuat ku menangis. Aku teringat ketika Ayah membuatkan aku sarapan, mengantar ku ke sekolah, mencium keningku, hingga merawat ku ketika aku jatuh sakit. Senyuman manis yang terlukis di wajahnya membuat ku senyum-senyum sendiri memandangi foto-foto itu.
Dulu, ketika Ayah pisah dengan Ibu, Ayah selalu menyiapkan aku sarapan. Ayah juga yang menyiapkan baju ku dan mengantar ku ke sekolah. Bahkan saat bekerja pun Ayah menelpon ku hanya untuk sekedar menanyakan apakah aku sudah makan apa belum. Malam harinya, ketika Ayah pulang kerja, ia masih mau menerima ajakan ku untuk bermain. Aku yang egois dan manja ini seharusnya mengerti keadaannya yang sudah lelah seharian bekerja. Namun, ia tetap memasang wajah ceria, menutupi rasa letihnya. Cintanya kepadaku lebih besar daripada keringat yang ia keluarkan untuk menafkahi ku.
Namun, di balik ketegaran dan semangat Ayah, ada satu hal yang membuatku tidak tega melihatnya. Sejak Ayah pisah dengan Ibu, Ayah mengurus semuanya sendiri. Hingga akhirnya aku membiarkan Ayah untuk menikah lagi. Saat itu aku berharap, Ibu yang menjadi Ibu tiri ku nanti bisa menyayangi ku seperti anak kandungnya sendiri. Tapi ternyata yang kudapat tidak sesuai harapanku.
Aku sangat marah dengan Ayah kala itu. Aku kecewa dengannya karena telah memberikan ku Ibu tiri yang jahat. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk ikut Ibu kandungku, pergi meninggalkan Ayah. Kemarahanku membuat ku lupa satu hal: Ayah tidak akan menikah jikalau aku tidak membiarkannya.
Setelah sekian lama aku ikut dengan Ibu, aku masih membenci Ayah hingga akhirnya kami kehilangan kontak. Aku yang egois itu merasa bahwa semuanya ini salah Ayah. Dan aku tidak mau bertemu dengannya hingga ia minta maaf kepadaku.
Sore itu, aku terbangun dari tidur siang ku, lalu membuka pintu rumah ku, menikmati air hujan yang membasahi beranda. Dari kejauhan, aku melihat sesosok bayangan yang berjalan menembus derasnya hujan kala itu, tentu saja dengan payung. Bayangan itu semakin jelas seiring menghampiriku. Aku dikagetkan dengan sesosok yang sudah lama tidak ku temui, Ayah.
Ia berhenti di depan ku, menaruh payungnya, memandangi ku untuk beberapa saat, lalu dengan satu gerakan ia memelukku. Hangat. Dinginnya hujan dikalahkan oleh pelukan hangat Ayah. Pelukan yang sudah lama tidak aku rasakan. Ia melonggarkan pelukannya dan kembali memandangi ku. Tak ada kata-kata yang ia jelaskan. Tapi, di kelopak matanya, ada kilatan cahaya yang membias tergenang oleh air. Perlahan-lahan bulir bening itu membanjiri matanya dan turun mengalir ke pipinya.
‘Ayah nangis?’
Ia menggeleng. Tapi jemarinya segera menyeka air yang mengalir di pipinya itu. Aku tahu, Ayah adalah lelaki yang kuat, ia tidak pernah menangis. Ia sampai meneteskan air matanya berarti pukulan berat telah menghujam hatinya.
‘Nak, Ayah minta maaf. Ayah tidak bermaksud untuk mencelakakan kamu. Kamu boleh marah sama Ayah. Tapi, Ayah mohon jangan pergi dari Ayah. Ayah tidak mau kehilangan kamu. Ayah kangen sama kamu.’
Mataku mulai memantulkan biasan cahaya. Kini, mataku sama dengan langit, sama-sama gelap, dan menjatuhkan airnya. Ayah memandangi ku dan mengelap mataku.
‘Kamu kenapa menangis?’
‘Habisnya aku tidak kuat. Ayah jangan nangis lagi. Aku juga minta maaf sama Ayah. Aku juga nggak mau kehilangan Ayah. Jangan ngomong begitu.’
Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi selain memeluk tubuhku semakin erat. Kini seolah Ayah terlihat seperti lelaki yang begitu rapuh. Sesuatu telah memukul hatinya. Dan itu adalah aku.
Aku berpamitan dengan Ibu untuk ikut Ayah. Selama di perjalanan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut aku dan Ayah. Hanya suara hujan yang mampu menutupi kesunyian. Dan beberapa kali lampu sein berbunyi, menandakan kami akan berbelok.
Sampai di rumah, aku berkeliling, memandangi setiap sudut rumah ku. Rumah ini sudah terasa asing bagi ku. Banyak sekali perubahan yang terjadi di sini. Aku menghampiri Ayah yang sedang duduk di sebuah sofa, memandanginya dengan rasa takut.
‘Tenang, Ayah tidak akan membiarkan dia menyakiti mu lagi.’ Sepertinya Ayah mengerti perasaan khawatir ku jikalau Ibu tiri ku berbuat jahat lagi.
Aku duduk di sampingnya, memandangi wajahnya, memposisikan diri ku se-rileks mungkin, sesekali meihat ke langit-langit, membayangkan kebersamaan ku dengan Ayah, lalu aku tersenyum.
Aku tahu, surga di bawah telapak kaki Ibu, tapi masih ada sosok Ayah yang menjaga kaki Ibu tetap melangkah. Ayah dan Ibu adalah sepasang sayap yang membawa ku terbang tinggi. Ibu adalah tulang rusuk Ayah. Maka, aku mencintai keduanya seperti tulang yang menyatu dalam dagingku.

Ayah

BAGIKU, surga di atas pundak Ayah. Bagaimana tidak, di atas pundaknya, ia memanggul cinta, mempertaruhkan segalanya untuk keluarga. Aku tahu, tubuhnya tak  sekekar yang kulihat. Namun, jiwanya lah yang menjadi kuat. Suaranya memang tak semerdu nyanyian lembut Ibu. Tapi Ayah mampu membingkaiku dengan nada-nada ketulusan. Tangannya memang tak selembut tangan suci Ibu. Tapi melalui sentuhannya, aku merasakan kehangatan.
Bagi sebagian orang, Ayah adalah sesosok malaikat yang dikirim Tuhan sebagai pahlawan, pelindung, dan pembimbing kehidupan. Bagi yang lain, Ayah adalah partikel-partikel di setiap hembusan nafas. Bagi orang lain, Ayah adalah cahaya di dalam kegelapan. Bagi orang yang lain, Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang tak pernah menyakiti. Bagi orang yang lain lagi, Ayah adalah seorang laki-laki yang tidak diketahui seperti apa wajahnya karena memang sejak awal Ayah telah pergi.
Tapi bagiku, Ayah adalah tempat ku pulang. Seperti rumah yang sempurna, sesuatu yang bisa melindungiku dari gelap, hujan, dan menawarkan kenyamanan. Tidak peduli seberapa jauh aku pergi, aku akan kembali ke dalam pelukannya.

SUARA petir membuyarkan lamunan ku, membuat ku menengok sebuah buku yang tergeletak di laci meja yang sedikit terbuka, usang tertutup debu, memaksa ku untuk membukanya. Aku memandangi Ayah, dia tersenyum kepada ku.
Aku buka buku itu, di dalamnya aku melihat foto-foto aku dan Ayah. Berbagai kenangan masa kecilku tiba-tiba muncul, mampir tanpa permisi. Aku teringat ketika Ayah menggendongku, membiarkan aku duduk di pundaknya, sambil memegang kepalanya. Aku teringat ketika Ayah memarahi meja yang membuat ku menangis. Aku teringat ketika Ayah membuatkan aku sarapan, mengantar ku ke sekolah, mencium keningku, hingga merawat ku ketika aku jatuh sakit. Senyuman manis yang terlukis di wajahnya membuat ku senyum-senyum sendiri memandangi foto-foto itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Main-main ke twitter gue juga ya!

Gregoby: Blogger paruh waktu

Gregoby adalah blog manusia modern yang hidupnya masih nomaden. Dikelola langsung sama orang paling keren di keluarganya. Lahir di Jakarta, orang tua dari Jawa, tapi biasa dikira "Orang Ambon."

Sesuai tajuk, Gregoby juga dapat berfungsi sebagai blogger paruh waktu. Sehingga jadwal menulis tidak dapat ditentukan dan tidak ada batasan isu di dalam tulisan, semua tergantung moment, peristiwa, fenomena terhadap nomena, arah mata angin, atau bahkan isu global.

Kalo ketemu di jalan, sapa aja. Orangnya ramah banget kok, dipanggil ganteng aja nengok.

Bacanya dari kiri ke kanan ya. Happy Reading!
Enjoy!

Contact Person

Nama

Email *

Pesan *