Sekolah Membunuh Kreativitas Anak-Anak

Sekolah membunuh kreativitas

Albert Einstein pernah berkata:
"Setiap orang adalah jenius. Namun, apabila engkau menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka dia akan menjalani seumur hidupnya dengan mempercayai bahwa dia bodoh."

Guru mengajarkan kita untuk jangan takut salah. Ironisnya, sekolah malah MEMBUAT kita takut salah. Sekarang begini, apabila kita salah dalam menjawab ujian matematika, kita tidak lulus. Apabila kita tidak bisa mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia dengan baik, kita tidak naik kelas. Apabila kita tidak mengikuti kegiatan dari sekolah, kita dihukum. Dan apabila kita gagal dalam ujian kelulusan (UN, US, dsb), kita tidak bisa masuk ke SMP/SMA/perguruan tinggi favorit. 

Lalu pertanyaannya: Bagaimana seorang guru dapat mengajari kita untuk jangan takut salah sementara sekolah membuat kita takut salah?

Picasso pernah mengatakan:
"All children are artist. The problem is how to remain an artist once he grows up."

Semua anak terlahir dengan luar biasa. SETIAP anak terlahir dengan kreativitas yang tidak ada batasnya. Anak kecil melakukan apapun yang mereka sukai tanpa takut salah. Tapi seiring kita beranjak dewasa, itu semua dihilangkan oleh pendidikan dan pelajaran yang melarang kita melakukan hal-hal yang salah. Itulah kenapa banyak orang-orang sukses yang tercatat dalam sejarah yang gagal dalam pendidikan formalnya. Itulah mengapa Einstein hanya lulus SD. Bayangkan jika ia mengikuti pendidikan hingga lulus kuliah, maka Teori Relativitas Einstein tidak akan pernah ada.

Lalu muncul pertanyaan kedua: Bagaimana seorang yang seperti Einstein, yang bahkan gagal dalam SMP dan SMA nya, mampu menciptakan Teori Relativitas nya yang sangat terkenal?

Sekolah mengajarkan kita matematika, fisika, kimia, dan seni. Pelajaran seni pun terbagi lagi menjadi seni lukis, seni musik, bahkan seni tari. Tapi mengapa tidak ada seni mematung? Mengapa tidak ada seni pantomim? Tapi mengapa tidak ada seni tulis? Karena kita DIAJARKAN bahwa apa yang tidak diajarkan oleh sekolah, kita tidak bisa sukses menjadi seperti itu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang punya mimpi menjadi seorang pematung, menjadi seorang penulis, atau bahkan menjadi seorang sutradara dapat meraih mimpinya sementara yang mereka pelajari di sekolah ada matematika, fisika, dan geografi? Bagaimana sekolah mempersiapkan sesuatu yang bahkan tidak tahu nantinya seperti apa?

Sekolah mengajarkan kita bahwa apa yang kita lakukan semua ada aturannya. Kita dituntut untuk menguasai semua pelajaran. Tapi kita tidak diberi ruang kebebasan untuk melakukan apa yang kita suka. Kenapa kita dipaksa untuk bisa Matematika sementara kita tidak menyukainya? Ironisnya, kita sejak kecil sudah dijejalkan semua pelajaran yang kita suka atau tidak suka harus bisa dan harus hafal, bukan malah membiarkan kita mendalami apa yang kita suka. Memang banyak anak-anak ranking 1 yang bisa menghafalkan semuanya. Tapi ketika dia menjadi dewasa, pikirannya telah terkotaki, kreativitasnya telah buntu, dan otak kanannya tidak akan jalan. Karena yang dipakai hanya otak kiri. Sehingga mereka hanya bisa menghafal, menghafal, dan menghafal. Dan akhirnya mereka bukan menjadi seorang yang pintar, juga bukan cerdas, tapi jago menghafal. Sehingga ketika mereka diminta untuk menjelaskan hal-hal tertentu, mereka akan menjawab, "kata dosen/guru saya seperti itu." atau "dari sananya sudah begitu."

Sekolah membunuh kreativitas
kira-kira begini gambarannya
Jika dipikir baik-baik, sekolah sebenarnya ingin membentuk anak-anaknya untuk menjadi guru. Guru bahasa Indonesia ingin membuat anak-anak yang belajar menjadi guru bahasa Indonesia, guru fisika ingin membuat anak-anaknya menjadi guru fisika, begitu juga guru-guru lainnya. Tapi anehnya, jika kita berikan guru matematika sebuah test tentang sosiologi, belum tentu guru matematika tersebut mampu menguasai sosiologi. Atau guru bahasa Indonesia, kita test seni rupa, belum tentu guru tersebut bisa menyelesaikannya dengan baik. 

Lalu mengapa kalau guru-guru tersebut tidak bisa menguasai hal yang lain dengan baik tapi murid-muridnya dipaksakan untuk mendapatkan semua nilai-nilai yang baik? Kalau gurunya saja hanya menguasai satu mata pelajaran, mengapa semua murid harus mampu menguasai semua mata pelajaran? Ya, mungkin untuk dasar, katanya. Tapi hingga saat ini saya masih bertanya-tanya kapan saya akan menggunakan semua rumus termasuk ilmu-ilmu lain yang sudah saya pelajari dalam kehidupan nyata. 

Sekolah membuat para murid berkompetisi demi mendapatkan nilai 100. Sebuah angka yang menentukan kualitas produk. Tapi mengapa banyak dari mereka yang sering mendapat nilai 100, namun setelah lulus mereka hanya menjadi pegawai biasa? Ironis, bukan? Lagi-lagi, pikiran kita dikotaki. Kita kembali dituntut, dituntut, dan dituntut. Maka jangan heran banyak murid yang akhirnya stress dan bahkan  bunuh diri karena gagal dalam ujian. Pikiran kita dikotaki bahwa anak yang tidak berhasil dalam matematika adalah anak bodoh. Matematika pun menjadi tolak ukur kepintaran seorang anak saat ini.

Di era modern seperti sekarang, kita tidak perlu mencetak ROBOT. Dunia telah berkembang dan sekarang kita butuh orang yang berpikir kreatif, inovatif, kritis, dan independen dengan kemampuan untuk terhubung antara yang satu dengan yang lainnya. 

Setiap ilmuwan akan mengatakan bahwa tidak ada dua otak yang sama. Dan setiap orang tua dengan dua atau lebih anak akan membenarkannya. Jadi mengapa sekolah memperlakukan para murid seperti satu warna yang sama? Memberi mereka omong kosong, "Satu ukuran untuk semua." Padahal jika seorang dokter menulis resep obat yang sama kepada semua pasiennya, hasilnya akan sangat tragis. Pasti banyak pasiennya yang akan semakin sakit. Dan seperti itulah yang terjadi di sekolah. 

Ketika satu orang guru berdiri di depan 30 anak, setiap anak mempunyai kekuatan yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, bakat yang berbeda, bahkan mimpi yang berbeda. Dan sekolah mengajarkan mereka hal yang sama dengan cara yang sama.

Ini sangat memalukan. Guru mempunyai pekerjaan paling penting di planet ini tapi mereka dibayar rendah. Maka jangan heran, ada begitu banyak murid yang tidak mengalami perubahan. Di Finlandia, mereka punya jam sekolah yang lebih pendek, para guru dibayar dengan layak, tidak ada PR, dan mereka fokus kepada KOLABORASI dibandingkan KOMPETISI. Dan hasilnya? Finlandia merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Ini adalah dunia yang kita semua mimpi-mimpikan, dunia di mana ikan tak lagi dipaksa memanjat pohon.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Main-main ke twitter gue juga ya!

Gregoby: Blogger paruh waktu

Gregoby adalah blog manusia modern yang hidupnya masih nomaden. Dikelola langsung sama orang paling keren di keluarganya. Lahir di Jakarta, orang tua dari Jawa, tapi biasa dikira "Orang Ambon."

Sesuai tajuk, Gregoby juga dapat berfungsi sebagai blogger paruh waktu. Sehingga jadwal menulis tidak dapat ditentukan dan tidak ada batasan isu di dalam tulisan, semua tergantung moment, peristiwa, fenomena terhadap nomena, arah mata angin, atau bahkan isu global.

Kalo ketemu di jalan, sapa aja. Orangnya ramah banget kok, dipanggil ganteng aja nengok.

Bacanya dari kiri ke kanan ya. Happy Reading!
Enjoy!

Contact Person

Nama

Email *

Pesan *