Kalo udah nyaman, kenapa pindah?

Pindah itu perlu. Agar kita berkembang. Nggak disitu-situ aja, tapi bergerak mencari hal baru yang bisa membantu kita memperluas ruang lingkup sekaligus pengalaman hidup kita. Tapi kalo udah nyaman, kenapa pindah?


Perpisahan
Perpindahan itu pasti terjadi. Siap tidak siap, mau tidak mau.

Tepat di pertengahan tahun 2015 lalu, nyokap meminta gue untuk ikut pindah ke Purwokerto. Alasannya sih nyokap minta ditemenin biar dia semangat kerjanya. Well, gue mengiyakan permintaan nyokap walaupun deep inside gue nggak rela harus ninggalin apa yang udah gue punya di tempat lama gue. Butuh waktu yang lama untuk mengiyakan permintaan nyokap ini. Selain temen-temen gue yang nggak rela gue pindah, gue juga nggak mau harus bangun semuanya lagi dari awal dan harus tinggal jauh dari bokap. Kalo sebelum pindah kan enak, walaupun nggak serumah sama bokap tapi setidaknya masih gampang buat ngajak ketemu.
Hal yang paling gue benci dari perpindahan adalah ketika gue balik, semuanya udah nggak sama lagi seperti saat gue masih disana. Waktu nggak akan pernah berhenti, waktu lah yang membiarkan semuanya itu berubah. Karena gue dan “yang di sana” dipisahkan dengan suasana yang berbeda, maka gue nggak bisa menikmati perubahan yang dialami di sana. Dan ketika gue balik, semuanya udah beda. Proses nya udah habis. Yang gue terima cuma hasil jadi dari perubahan itu sendiri.
Sebenarnya gue udah ada niatan pindah sejak sebelum masuk SMA. Waktu itu, gue yang putus asa karena nggak dapet SMA Negeri di Jakarta, memutuskan untuk memilih SMA secara ngasal di hari terakhir pendaftaran SMA. Gue yang berpikir, ‘Ah, cuma bentar doang gapapa lah. Tahun depan juga pindah.’ Akhirnya gue malah keterima di SMA Negeri 4 Bekasi, salah satu SMA terbaik di Bekasi. Gue yang pada awalnya masuk cuma untuk ngisi waktu luang *sombong*, malah terlanjur nyaman sama sekolah itu. Gue menikmati masa-masa itu gitu aja. Tanpa sadar kalo gue sebenarnya membuat 'kenangan' di sana. Gue ngerasa udah ngalamin perubahan total yang nggak pernah gue rasain di SMP sebelumnya. Mungkin karena ini gue berat untuk pindah.
Karena gue ngerasa kalo gue dibutuhin di sini (tempat lama gue), gue memutuskan untuk nggak jadi pindah. Tapi apa daya, nyokap terus membujuk dan memohon-memohon biar gue ikut pindah. Gue pun kalah dengan rayuannya dan menuruti kemauannya dengan setengah hati.

Malam itu, pas masih baru-barunya pindah dan mulai besok gue udah masuk ke sekolah baru, gue nggak bisa tidur. Seperti lazimnya orang-orang yang baru pindah rumah, semua memori yang gue punya di sana tiba-tiba terlintas gitu aja di pikiran gue. Mulai dari kejadian absurd sampai kejadian yang bisa bikin gue senyum-senyum sendiri. Selain ngingat masa-masa itu, gue juga mikirin, ‘Besok gimana ya?’ Dan sampai sekarang pun gue susah buat tidur.
Pernah suatu ketika gue curhat ke nyokap kalo gue kangen suasana di sana, gue kurang nyaman (baca: nggak cocok) di sini, gue mau balik ke sana. Tapi nyokap malah membantah omongan gue. Dan besoknya gue jatuh sakit. Suhu badan gue naik turun kayak anak baru puber. Gue check ke dokter, tapi ternyata secara fisik gue nggak kenapa-kenapa. Akhirnya, nyokap gue yang possesive ini curhat ke dokter kalo gue itu nggak betah (baca: nggak cocok) di sini dan masih mikirin yang lama. Dokter pun menasihati gue.
‘Dika, kamu nggak kenapa-kenapa kok. Tadi di cek darahnya baik-baik aja. Mungkin karena pikiran ya? Tadi mamah bilang kalo kamu kepikiran yang di Bekasi ya?’ Tanya dokternya dengan nada bicara yang lembut. Manis sekali. Sayang dokternya cowok.
Gue yang saat itu terkapar lemah tak berdaya cuma bisa mangap, menahan ingus gue yang sudah tidak tahan mau keluar, sambil mengangguk-anggukan kepala.
‘Jangan terlalu di pikirin. Liat tuh, sampai sakit begini kan kasihan mamah juga. Kamu kan masih belum lama di sini. Mungkin kamu belum nemu aja yang bisa bikin kamu nyaman di sini. Dulu kamu aktif organisasi kan? Coba sekarang kamu ikut aktif juga di sini. Passion mu di sana kamu lanjutin di sini. Dijalani saja dulu, nanti pasti akan ada yang bisa bikin kamu nyaman.’
Besoknya gue sehat. Dan mencoba mengikuti perkataan dokter tersebut. Awalnya biasa aja. Yaudah gitu, let it flow. Gue menikmatinya. Tapi semakin kesini gue ngerasain hal yang sama lagi: gue nggak cocok.
Bukannya gue nggak bisa beradaptasi apa gimana. Bukannya gue nggak bisa move on apa gimana. Gue cuma ngerasa kalo disini ada yang salah, kayak ada yang janggal aja gitu gatau apa.

I don’t know. I feel like I just lost something in myself. Well, I have no idea what happened to me. Like this is not me, I’m not like this.

Pindah itu perlu. Tapi kalo udah nyaman, kenapa pindah?
Daripada dilakuin dengan terpaksa lebih baik ditahan dulu. Selagi bisa dinikmatin, nikmatin aja dulu sebelum 'perpindahan' itu datang memaksa.
Seandainya waktu bisa diputer, gue pengin muter balik ke belakang. Tepat saat gue masih bisa menikmati masa-masa gue di sana. Pertanyaannya: Kalo gue balik lagi, yakin nanti bisa lebih baik dari ini?

5 komentar:

 

Main-main ke twitter gue juga ya!

Gregoby: Blogger paruh waktu

Gregoby adalah blog manusia modern yang hidupnya masih nomaden. Dikelola langsung sama orang paling keren di keluarganya. Lahir di Jakarta, orang tua dari Jawa, tapi biasa dikira "Orang Ambon."

Sesuai tajuk, Gregoby juga dapat berfungsi sebagai blogger paruh waktu. Sehingga jadwal menulis tidak dapat ditentukan dan tidak ada batasan isu di dalam tulisan, semua tergantung moment, peristiwa, fenomena terhadap nomena, arah mata angin, atau bahkan isu global.

Kalo ketemu di jalan, sapa aja. Orangnya ramah banget kok, dipanggil ganteng aja nengok.

Bacanya dari kiri ke kanan ya. Happy Reading!
Enjoy!

Contact Person

Nama

Email *

Pesan *