Halo, perkenalkan namaku Pandu. Aku lahir dari sebuah keluarga yang berantakan. Ya, aku adalah anak Broken
Home. Ini adalah kisahku ketika aku kecil.
![]() |
I don't care if I was born as a broken home kid. All I want
is just my mom and dad to be happy.
|
Sejak aku dilahirkan, aku
mempunyai penyakit pada organ dalam yang cukup parah. Tidak jarang bagiku untuk keluar masuk rumah
sakit. Bahkan bisa sampai 4 kali dalam sebulan aku harus dirawat intensif di
rumah sakit. Aku ingat ketika kedua orang tuaku menemaniku dikala aku sakit,
menyuapiku makanan ketika aku lapar, membersihkan kotoranku ketika aku, si
kecil ini, membuang kotorannya sembarangan, hingga tertidur di pelukan ayah dan
ibuku. Tentunya kita semua memiliki kenangan-kenangan indah seperti itu. Bagiku
itu adalah memori terindah yang sangat berharga, yang tidak akan kumiliki lagi.
Malam itu, aku terbangun dari
tidurku. Melihat kedua orang tuaku bertengkar hebat. Mata ibu yang biasanya
terlihat bersinar, kini terlihat gelap dipenuhi tangisan. Ayah yang tidak
pernah kehabisan lelucon untuk menghiburku, kini ia terlihat seperti sedang menahan
tangisannya. Saat itu, ayah melihat ke arahku dan cepat-cepat menggendongku
keluar kamar. Aku tahu, ayah tidak ingin aku melihat mereka bertengkar. Tapi
aku melihat wajahnya, ia tersenyum menatapku. Dan aku juga tahu, senyuman itu
bukanlah senyum yang biasanya. Aku tidak tega melihat ibuku menangis. Aku pun
mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa yang mereka
lakukan? Mengapa mereka berteriak tengah malam begini? Apa memang itu yang
biasanya orang dewasa lakukan? Aku tidak mengerti, mengapa ada tangisan di
setiap mata kedua orang tuaku.
Keesokan harinya, aku mendapati
ibuku sudah tidak ada di rumah. “Dimana ibu?” tanyaku pada ayah. Ayah hanya
tersenyum dan membalas, “Dia lagi keluar sebentar, nanti juga pulang”. Aku tahu
ayah berbohong. Nyatanya, ibu tidak pernah kembali.
Satu tahun... Dua tahun... Tiga
tahun berlalu, aku hidup tanpa ibuku. Aku hidup bersama ayah, kakak dan adikku.
Aku tahu itu bukanlah hal yang mudah bagi ayah untuk merawat anak-anaknya
seorang diri. Ayah harus menjalankan dua peran; bekerja di kantor untuk mencari
nafkah, dan memasak untuk anak-anaknya ketika mereka lapar di malam hari. Aku
bangga dengannya, ayahku adalah ayah terbaik yang pernah ada. Namun, terkadang
aku merindukan ibu. Aku merasa sepi tanpa kehadirannya. Setiap kali aku meminta
ayah agar aku bisa bertemu ibuku, ayah selalu menolaknya dan memarahiku. Ayah
bilang bahwa ibu adalah orang yang jahat. Awalnya aku setuju dengan perkataan
ayahku. Buktinya, ibu meninggalkan kami semua di sini. Saat itu, aku tidak
mengerti dengannya. Mengapa Ibu melakukan itu?
Tiga setengah tahun setelah ibu
meninggalkanku, akhirnya ibu kembali pulang. Aku masih marah padanya. Aku masih
tidak terima dengan kepergiannya saat itu. Namun, ibu berusaha meyakinkanku apa
yang sebenarnya terjadi. Ibu menjelaskan mengapa ia harus pergi saat itu.
Kepergiannya saat itu adalah sesuatu yang harus ibu lakukan. Dan ibu
melakukannya dengan terpaksa. Jauh di lubuk hati, ibuku tidak ingin
meninggalkan anak-anaknya. Namun, ibu bilang ayah adalah orang yang jahat.
Karena itu, jika ia tidak pergi, ia tidak akan bertahan. “Ya, ibu, aku
mengerti,” selain tangisan yang keluar dari mataku, cuma itu yang bisa aku
katakan.
Sejak saat itu, aku ikut dengan
ibuku. Aku tinggal di kampung kelahiran ibuku. Aku tinggal bersama kakek dan
nenekku, dan tentunya bersama ibu. Aku yang masih kecil ini sangat menikmati
masa-masa kecilku. Bermain dengan teman-teman sampai lupa waktu, ikut kakekku
memancing hingga aku tercebur ke sungai, membantu nenekku memasak di dapur,
diceritakan dongeng sebelum tidur, sampai tertidur di pelukan ibuku. Oh, Tuhan,
betapa hangatnya pelukan ibu. Aku sangat merindukan pelukannya.
Satu tahun kemudian, ayah
menjemputku. Ia ingin aku ikut dengannya lagi. Dan aku juga tidak mengerti
menngapa aku menerima ajakannya. Mungkin karena aku merindukannya. Dan aku
kembali meninggalkan ibuku. Aku kembali ke rumah lamaku. Aku tinggal kembali
bersama ayah, kakak, serta adikku lagi.
Dan aku kembali tinggal tanpa ibuku. Secara hukum, hak asuh anak memang
ada di ayahku. Awalnya aku merasa senang akan hal itu, tapi semakin ke depan,
aku semakin merindukan ibuku.
Aku menjalani hidup seperti
biasa. Hidup sebagai seorang anak kecil polos yang tidak mengerti apa-apa yang
hanya ingin bermain setiap waktu. Saat umurku 8 tahun, ayahku menikah lagi
dengan seseorang yang juga telah memiliki anak. Aku sangat amat tidak mau
memiliki ibu tiri. Ibuku hanya satu, tidak ada yang lain. Aku takut kalau ibu
tiri itu jahat. Dan benar apa yang aku takutkan itu terjadi. Dia tidak
mengasihiku selayaknya anak. Dia hanya mengasihi anak-anaknya saja. Ayahku
bekerja seharian, sedangkan ibu tiri itu ada di rumah ku setiap saat. Kalian
tentu tahu kan apa yang dilakukannya saat ayah tidak di rumah? Dan apa yang
dilakukannya saat ayah ada di rumah? Kedua hal itu sangatlah bertolak belakang.
Apa yang ia lakukan saat ayah tidak di rumah itu tidak seperti apa yang ia
lakukan saat ayah sedang ada di rumah. Ya, di depan ayahku ia sangat baik.
3 tahun sudah aku hidup di bawah
tekanan. 3 tahun sudah aku harus menunjukkan pada ayah setiap kali ia pulang
kerja bahwa aku dirawat dengan baik oleh ibu tiri itu. Sungguh, aku tidak
tahan. Aku merindukan ibuku. Aku tidak ingin tinggal bersama “tante jahat” ini.
Aku ingin ibuku. Berkali-kali aku meminta pada ayah bahwa aku ingin tinggal
bersama ibu, tapi ayah tidak pernah mengizinkanku. Ayah tidak pernah
membiarkanku tinggal bersama ibu.
Akhirnya saat aku berumur 11
tahun, aku dapat menghubungi ibuku kembali. Namun, ayahku selalu marah jika aku
berhubungan dengan ibuku. Karena itu, aku selalu diam-diam jika berhubungan
dengan ibu. Aku merasa sangat senang dan aku merasa lega dapat bertemu ibu
kembali. Wajah cantiknya tidak pernah berubah sejak dulu, tangan lembutnya
masih sama seperti saat ibu mengelus-elus rambutku dulu, dan pelukannya masih
hangat seperti dulu.
Kata ibuku, aku berhak memutuskan
akan ikut dengan siapa jika aku sudah berumur 12 tahun karena memang begitu
hukumnya. Dengan kata lain, aku harus menunggu satu tahun lagi agar bisa ikut
dengan ibu. Satu tahun memang waktu yang tidak begitu lama, tapi bagi ku itu
terasa sangat amat lama jika tinggal bersama “tante jahat” itu. Dan disinilah
kesabaranku benar-benar diuji.
Sampai suatu saat, 3 bulan
sebelum umurku 12 tahun, aku mencapai titik dimana aku sudah benar-benar tidak
tahan. Aku menangis kencang dan hanya kata, “aku ingin ibuku” yang bisa keluar
dari mulutku. Aku meronta-ronta ingin ikut ibuku. Aku memberitahu ayah seperti
apa sebenarnya ibu tiri itu. Aku tidak tahu apa yang kulakukan, yang bisa aku
rasakan hanyalah, “aku sudah tidak tahan”. Ayahku merasa kasihan terhadap ku,
akhirnya dia mengabulkan permintaan ku. Dan setelah itu, ibu menjemputku dan
membawaku ikut bersamanya.
Dan disinilah aku sekarang, hidup
damai bersama ibuku. Namun, ibu tidak pernah melarang aku untuk berhubungan
dengan ayah. Karena bagaimanapun juga ayah adalah ayah kandungku, tanpanya aku
tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Walaupun status mereka bukan suami
istri lagi, tapi mereka tetaplah ayah dan ibuku. Jika aku kangen pada ayah, aku
dapat meminta ibu agar aku bisa menemui ayahku.
Aku tahu keduanya mempunyai
urusan masing-masing. Itulah mengapa aku tidak menginginkan mereka bersatu
kembali. Yang aku inginkan hanyalah ayah dan ibu bahagia. Aku tidak pernah
menyesal terlahir menjadi seorang anak “Broken Home”. Karena tanpa
pengalaman-pengalaman itu, aku tidak akan menjadi diriku yang sekarang, aku
tidak akan mendapatkan banyak pelajaran hidup.
Aku jadi mengerti bagaimana
rasanya kesepian, bagaimana rasanya melihat kedua orang tua kita bertengkar,
dan bagaimana rasanya berpisah dengan orang tua. Karena itu, saat aku besar
nanti, aku tidak ingin anak-anakku merasakan apa yang aku rasakan saat kecil.
Walaupun aku masih tidak mengerti
mengapa mereka berpisah, aku tidak mengerti mana yang benar dan mana yang
salah. Tapi aku tidak peduli, aku tidak perlu memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah: Aku senang karena
sekarang aku bisa kembali merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku.
Broken home? Kurasa tidak, karena
yang hancur hanyalah status mereka sebagai suami istri, bukan cinta dan kasih
sayang mereka. Semuanya akan tetap indah selama kita masih memliki “cinta”.
Nangis bacanya.
BalasHapus